Dewasa ini banyak terjadi praktik pelacuran
politik. Terjadinya korupsi yang dilakukan secara “berjamaah”. Sehingga sulit
-bahkan rada mustahil- menemukan siapa yang harus dipersalahkan.
Entah apa yang salah, sistem kah? Atau person-person-nyakah? Yang
memperihatinkan saya, tidak sedikit oknum itu dari kalangan Muslim. Yang jelas
kanker politik ini telah menjalar seluruh tubuh -baik di dunia kampus ataupun
politik nasional- yang tadinya mulus, dan kini nampaklah mulai bopeng-bopeng.
Terdapat kesan cukup kuat bahwa
sebagian dari para elit politik- jelas tidak semua mereka- telah kehilangan
banyak sekali kemurnian cita-cita dan ada yang nampak sibuk mengokohkan
kekuasaannya sekaligus mencari jalan bagaimana “selamat” dan bertahan dalam
kedudukannya sekarang. Apalagi jika
orang sudah melihat politik dengan partai dan posisi-posisi pribadi yang
diperolehnya seolah-olah “sawah-ladang” atau “toko-warung” mereka.
Membaca berita-berita tentang mereka
ini, tak terhindarkan lagi adanya kesan bahwa seluruh polah-tingkah dan
manuver-manuvernya itu hanya bermotifkan bagaimana survive dalam posisi
mereka, dalam keadaan diliputi suasana khawatir, waswas dan curiga bahwa sesama
temannya atau orang lain senantiasa mengincar kedudukannya dan hendak
mendongkelnya. Dari jauh nampak sekali masing-masing mereka itu saling pasang
kuda-kuda menghadapi rekannya sendiri dan orang lain. Jika penyakit kanker
politik itu hanya menghinggapi mereka dari generasi yang lebih tua, mungkin
kita bisa menghibur diri, “Biarlah, toh mereka akan segera pergi”. Tapi kalau
praktik-praktik itu terwariskan kepada generasi yang lebih muda -dan agaknya
sudah mulai diwariskan- maka inilah malapetaka yang hanya Allah yang tahu
bagimana nanti mengatasinya.
Penangkal
Kanker Politik
Barangkali di kalangan umat ini harus
ada badan untuk menangkal kanker politik ini yang entah bagaimana caranya bisa
menyaring calon-calon politisinya begitu ragam bentuknya sehingga dengan sistem
tarjih -meminjam istilah ilmu Mustalah Hadis- dapat disisihkan
mereka yang tidak memenuhi persyaratan etika politik dan yang sebaliknya bisa
terpilih orang-orang dengan tingkat moralitas pribadi yang tinggi, bukan
abal-abal yang hanya tahu mengeksploitasi politik untuk kepentingan diri
sendiri saja. Mungkin juga diperlukannya menggagas kembali perubahan susunan
politik nasional kita, khususnya berkenaan dengan pemilihan umum (pemilu),
sehingga mekanisme yang mendorong orang berbuat hanya mencari “selamat” itu
dihapuskan.
Sikap mengakui kesalahan sendiri kiranya
perlu ditanamkan dalam pribadi-pribadi politisi, agar mempermudah dalam
penyelesaian kasus yang berlarut-larut yang memakan anggaran yang tidak
sedikit. Mengakui kesalahan menurut ajaran agama Islam adalah tindakan terpuji.
Rasulullah Saw. pernah bersabda: “Beruntunglah orang yang sibuk mengenali
kesalahannya sendiri, dan bukannya kesalahan orang lain”. Ajaran kitab suci
juga mengatakan agar bersikap adil karena Allah, meskipun mengenai diri
sendiri, kedua orangtua, dan sanak famili (Q.S. An-Nisa':124). Dan saya kira
makna hadis, “katakanlah yang benar, sekalipun pahit!”, tidak hanya berarti
kita harus berani mengeritik orang lain dan mengemukakan kesalahannya yang
selalu berakibat pahit, tetapi tentunya termasuk pula mengakui kesalahan diri
sendiri dan justru inilah yang lebih pahit. Etika mengakui kesalahan dan
kegagalan ini adalah salah satu yang harus ditegakkan. Sayangnya yang terkenal
kuat sekali berpegang pada etika ini ialah orang-orang Jepang yang notabene
bukan Muslim. Kita -sebagai Muslim sejati- tidak bisa menghargai tradisi hara kiri. Tetapi kita sunggguh mengagumi para
pemimpin Jepang yang sering cepat mengakui kesalahan diri atau bawahannya, yang
kemudian mengambil tanggung jawab penuh akibat-akibatnya. Tentu sejarah dan
perkembangan Indonesia akan lain sekali kalau seandainya para pemimpin dulu,
sekarang dan di masa depan mempraktikan etika ini, sehingga siapa saja yang
pernah melakukan tindakan yang salah atau jelas merugikan orang banyak tak
segan-segan mengakui dan berani menanggung akibatnya.
Tapi saya tidak ingin melakukan
generalisasi atau disakompetdaunkeun, dengan tulus
kita mengakui bahwa dari kalangan elit politik itu -siapa saja mereka ini-
terdapat orang-orang yang nampak menunjukan keikhlasan dan kemurnian cita-cita
yang cukup mengharukan. Kepada mereka ini ingin kita menyatakan simpati kita
dan doa kita bagi mereka untuk 'inayah dan hidayah Allah semoga mereka tabah,
tawakal, dan akhirnya berhasil menyelamatkan hikmat-hikmat yang tersisa. Mereka
menjadi tumpuan harapan kita dan kita ingin rasanya menitipkan persoalan usaha
penegakan etika politik yang terpuji. Karena saya sendiri menyadari tidak
berbakat dalam politik praktis, malah ada kecenderungan saya menjauh
daripadanya, maka saya ingin teman-teman yang berbakat dan mampu itu maju
terus, dengan harapan mereka tetap setia kepada cita-cita bersama yang luhur, insya Allah.
0 comments:
Post a Comment