Diskursus tentang HAM nampaknya belum selesai hingga detik ini. Kita hidup di alam kemerdekaan, bukan lagi dijaman Belanda, Jepang yang senantisa mengebiri setiap kebebasan negeri jajahannya. Meskipun saya tidak pernah mengalami penjajahan dari negara asing seperti Belanda dan Jepang atau ketika masa Orba, saya tidak pernah. Bahkan saya hidup setelahnya, yang semestinya menikmati alam kemerdekaan ini, nyatanya tidak, tidak sepenuhnya.
Saya sebagai mahasiswa di salah satu universitas ternama di Indonesia yang berlabelkan Islam pun belum merasakan manisnya kebebasan itu. Memang saya pun kebingungan mendefinisikan arti darifreedom itu sendiri. Apa yang saya rasakan, mungkin juga dirasakan oleh kawan-kawan mahasiswa lain. Dalam perkuliahan mahasiswa masih belum terbebas dari “ketakutan” akan mendapatkan nilai yang bukan A atau B atau C. dibenak mereka bukanlah, “bagaimana saya bisa sukses untuk memajukan bangsa ini?” tetapi bagaimana saya mendapatkan nilai cumlaud, yang pada akhirnya ia hanya melakukan sesuatu yang dapat menunjang tujuannya bukan melakukan apa kata hatinya harus lakukan. Kasus lain ada yang orientasinya pekerjaan, mengingat belum sejahtera dan ingin setara dengan orang lain dalam hal ekonomi misalnya. Hal itu memang tidaklah sepenuhnya negative, bahkan patut dilempari sebuah pujian hanya saja jika itu yang menjadi tujuan utama, naïf sekali. Yang dia dapat mungkin hanya nilai, dan pengetahuannya pun sebatas nilai. Berbeda dengan mahasiswa yang berada di negeri tetangga sebut saja Brunei Darussalam, orientasi mereka bukanlah perkerjaan karena mereka sudah sejahtera dari segi ekonomi. Mereka belajar ya belajar, bahkan boleh dikategorikanikhlas artinya tidak tercampuri apapun niatnya, murni. Terlalu jauh mungkin jika membandingkan dengan Kerajaan Brunei, disana orang yang empunya mobil saja mendapat zakat. Subhanallah
Cara pandang sederhana ini dilatarbelakangi background yang berbeda, mungkin salah satunya adalah adanya kekuasaan “semi-mutlak” dari dosen. Dosen (tidak semua tentunya) menggunakan kekuasaanya dalam menilai para mahasiswa atas dasar standar yang dibuatnya sendiri, bukan apa yang diharapkan mahasiswa. Sehingga mau tidak mau mahasiswa harus menjadi budaknya sementara. Kalau tidak, paling banter dapat nilai C. Kekuasaan semacam ini masih dianggap momok menakutkan bagi para mahasiswa yang pengecut. Dosen dianggapnya Adlof Hitler sang pemimpin Nazi, yang akan mati bila tak sepaham dengannya. Inilah yang membuat saya kecewa, tidak puas, tidak bebas. Ketidakpuasan inilah yang memunculkan pemberontakan dalam diri saya. Memberontak untuk survive dan setidaknya tetap bisa bernafas lega. Untuk apa kita belajar jika hanya untuk diajari cara menjajah orang lain. Mungkin ada benarnya apa yang diungkapkan oleh Mao Zedong bahwa konflik itu berisifat semesta dan absolute, sejalan dengan teorinya Karl Marx berdasarkan prinsip konflik : kelas yang menindas dan kelas yang tertindas.
Tetapi disini saya tidak menafyikan keikhlasan para Dosen yang tak henti-hentinya selalu mengarahkan, membimbing saya untuk menjadi orang yang bermanfaat. Senada dengan hadis Rasulullah “sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lain”. Dosen pun adalah pahlawan saya, pahlawan tanpa tanda jasa, yang telah membentuk saya menjadi pribadi yang berakhlak. Semoga mereka senantiasa diberi keberkahan, rizki yang melimpah dan ilmu yang bermanfaat. Amin99x
(luapan kekesalan dari mahasiswa yang tak kunjung mendapat arti dari kebebasan/freedom)
Ciputat, 1 Mei 2012, 16.00 – 17.30 WIB
menyambut HARDIKNAS dan HARKITNAS
0 comments:
Post a Comment