Di ruang TV
yang berukuran 4x4 m2, di atas sebuah lemari terdapat TV yang
berukuran 21 bici. Beberapa boneka kecil berderet disampingnya dan terhampar
karpet dilantai. Di ruang TV, di Pondok Pesantren Sabilussalam itu, saya dan
kawan-kawan hendak menonton sebuah acara disalah satu stasiun televisi swasta,
diTrans7. Tak lama setelah pengajian selesai, di sebuah sore sebelum lampu
dinyalakan, saya menonton berita Redaksi Sore Trans7. Saya tak sepenuhnya
mengikuti acara itu. Saya terkejut ketika menyimak berita tentang kebijakan impor pangan yang
dilakukan Kementrian Perdagangan dan Pertanian (Kemendagri). Menteri
Perdagangan tidak mungkin melakukannya sendiri tanpa ada campur tangan dari
pihak lain sebagai “dalang”. Saya tidak habis pikir, di Indonesia yang
merupakan negara yang mempunyai sumber
daya alam yang luar biasa mulai dari kesuburan tanah hingga kekayaan laut yang
berlimpah, harus mengimpor pangan dari luar negeri.
Negara Agraris sepertinya hanya menjadi celotehan
semata tanpa adanya implementasi (tindakan) yang jelas dari pemerintah. Hal tersebut
terlihat dari rapuhnya ketahanan pangan, dikarenakan minimnya produk pokok
pertanian seperti wortel, cabai dan tomat yang dapat diproduksi di
dalam negeri. Indonesia kini mengandalkan kebijakan impor produk pangan dari luar negeri yang mengakibatkan
ketergantungan yang tidak semestinya di alami Indonesia sebagai negara yang
bercorak agraris.
Kebijakan impor tersebut dinilai
menekan kehidupan warga yang sebagian besar penghasil pangan. Kekayaan potensi pangan di Indonesia
sebenarnya dapat memenuhi kebutuhan pangan Indonesia, hal ini diakui oleh petani Cianjur yang diwawancara dalam berita itu. Kita lihat dalam sejarah, sejak zaman kolonial bangsa Indonesia sudah menjadi bangsa
agraris dan terbiasa memenuhi kebutuhan pokok pangannya, kenapa setelah kemerdekaan kita raih Indonesia justru harus
mengimpor produk pangan untuk mencukupi persediaan pangan nasional.
Sebagian petani di Indonesia masih bercorak petani kecil,
bahkan banyak diantara mereka yang berprofesi petani namun tidak mempunyai
tanah, mereka mengelola tanah orang lain dengan sistem bagi hasil. Sehingga
banyaknya jumlah petani tidak sebanding dengan jumlah produk yang bisa
dihasilkan, untuk itu perlunya kita mengembangkan konsep petani yang lebih
maju, yang mempunyai orientasi ke ekonomi uang dan pasar, mampu memanfaatkan
teknologi yang lebih mekanis dan mengelola usaha taninya dengan lebih mutahir,
sehingga petani mampu mengakses berbagai fasilitas usaha-usaha lainnya, yang
mempu mensejahterakan dirinya dan mengembangkan produksi pertaniannya.
Bukankah kini public spirit nyaris tipis dan
pengertian bebrayan dirusak oleh ketimpangan social dan korupsi ? apa gerangan
yang harus dilakukan? Saya ingin sekali bisa menjawab itu. Sungguh, saya ingin
sekali bisa menjawab itu.
Kalangan pengusaha berharap Menteri
Perdagangan yang baru memperketat kebijakan impor agar tidak “membunuh dan
melumpuhkan” industri di dalam negeri.
Disini, institusi yang berkuasa tak dengan sendirinya jauh dari nilai yang mengutamakan yang publik. Korupsi adalah contohnya. Korupsi adalah privatisasi kekuasaan sebagai sebuah amanat publik. Agaknya itulah sebabnya tiap kebijakan yang mengandalkan intervensi (campur tangan) negara ke dalam perekonomian selalu disertai rasa waswas: kita tidak tahu dimana negara berada. Rasa waswas itu menyebabkan ada dorongan yang kuat – dari mana saja, juga dari pemerintah sendiri – untuk melucuti tangan birokrasi dipelbagai bidang.
Disini, institusi yang berkuasa tak dengan sendirinya jauh dari nilai yang mengutamakan yang publik. Korupsi adalah contohnya. Korupsi adalah privatisasi kekuasaan sebagai sebuah amanat publik. Agaknya itulah sebabnya tiap kebijakan yang mengandalkan intervensi (campur tangan) negara ke dalam perekonomian selalu disertai rasa waswas: kita tidak tahu dimana negara berada. Rasa waswas itu menyebabkan ada dorongan yang kuat – dari mana saja, juga dari pemerintah sendiri – untuk melucuti tangan birokrasi dipelbagai bidang.
0 comments:
Post a Comment