Surga Tani vs Kebijakan Impor

Tuesday, June 12, 2012


           Di ruang TV yang berukuran 4x4 m2, di atas sebuah lemari terdapat TV yang berukuran 21 bici. Beberapa boneka kecil berderet disampingnya dan terhampar karpet dilantai. Di ruang TV, di Pondok Pesantren Sabilussalam itu, saya dan kawan-kawan hendak menonton sebuah acara disalah satu stasiun televisi swasta, diTrans7. Tak lama setelah pengajian selesai, di sebuah sore sebelum lampu dinyalakan, saya menonton berita Redaksi Sore Trans7. Saya tak sepenuhnya mengikuti acara itu. Saya terkejut ketika menyimak  berita tentang kebijakan impor pangan yang dilakukan Kementrian Perdagangan dan Pertanian (Kemendagri). Menteri Perdagangan tidak mungkin melakukannya sendiri tanpa ada campur tangan dari pihak lain sebagai “dalang”. Saya tidak habis pikir, di Indonesia yang merupakan negara yang mempunyai sumber daya alam yang luar biasa mulai dari kesuburan tanah hingga kekayaan laut yang berlimpah, harus mengimpor pangan dari luar negeri.
Negara Agraris sepertinya hanya menjadi celotehan semata tanpa adanya implementasi (tindakan) yang jelas dari pemerintah. Hal tersebut terlihat dari rapuhnya ketahanan pangan, dikarenakan minimnya produk pokok pertanian seperti wortel, cabai dan tomat yang dapat diproduksi di dalam negeri. Indonesia kini mengandalkan kebijakan impor produk pangan dari luar negeri yang mengakibatkan ketergantungan yang tidak semestinya di alami Indonesia sebagai negara yang bercorak agraris.
Kebijakan impor tersebut dinilai menekan kehidupan warga yang sebagian besar penghasil pangan. Kekayaan potensi pangan di Indonesia sebenarnya dapat memenuhi kebutuhan pangan Indonesia, hal ini diakui oleh petani Cianjur yang diwawancara dalam berita itu. Kita lihat dalam sejarah, sejak zaman kolonial bangsa Indonesia sudah menjadi bangsa agraris dan terbiasa memenuhi kebutuhan pokok pangannya, kenapa setelah kemerdekaan kita raih Indonesia justru harus mengimpor produk pangan untuk mencukupi persediaan pangan nasional.
Sebagian petani di Indonesia masih bercorak petani kecil, bahkan banyak diantara mereka yang berprofesi petani namun tidak mempunyai tanah, mereka mengelola tanah orang lain dengan sistem bagi hasil. Sehingga banyaknya jumlah petani tidak sebanding dengan jumlah produk yang bisa dihasilkan, untuk itu perlunya kita mengembangkan konsep petani yang lebih maju, yang mempunyai orientasi ke ekonomi uang dan pasar, mampu memanfaatkan teknologi yang lebih mekanis dan mengelola usaha taninya dengan lebih mutahir, sehingga petani mampu mengakses berbagai fasilitas usaha-usaha lainnya, yang mempu mensejahterakan dirinya dan mengembangkan produksi pertaniannya.
Bukankah kini public spirit nyaris tipis dan pengertian bebrayan dirusak oleh ketimpangan social dan korupsi ? apa gerangan yang harus dilakukan? Saya ingin sekali bisa menjawab itu. Sungguh, saya ingin sekali bisa menjawab itu.

Kalangan pengusaha berharap Menteri Perdagangan yang baru memperketat kebijakan impor agar tidak “membunuh dan melumpuhkan” industri di dalam negeri.
Disini, institusi yang berkuasa tak dengan sendirinya jauh dari nilai yang mengutamakan yang publik. Korupsi adalah contohnya. Korupsi adalah privatisasi kekuasaan sebagai sebuah amanat publik. Agaknya itulah sebabnya tiap kebijakan yang mengandalkan intervensi (campur tangan) negara ke dalam perekonomian selalu disertai rasa waswas: kita tidak tahu dimana negara berada. Rasa waswas itu menyebabkan ada dorongan yang kuat – dari  mana saja, juga dari pemerintah sendiri – untuk melucuti tangan birokrasi dipelbagai bidang.

0 comments:

Post a Comment

 
 
 
 
Copyright © Simplicity