Filosofi Fahmi
Dzilfikri
Namanya Fahmi. Panjangnya Fahmi Dzilfikri al-Jaelani al-Idrisy. Ini
nama sungguh terasa Arab, nama yang benar-benar Arab. Namun, meskipun begitu
Arabisasi ia adalah orang suku Sunda asli tanpa campuran, Sunda tulen. Karenanya
dalam kehidupan kesehariannya ia lebih sering dipanggil “Asep” terutama oleh
orang-orang yang usianya di atas dia. Asep adalah gelar yang diberikan oleh para
orang tua kepada anak-anak Sunda, dan gelar itu benar-benar tipikal Sunda.
Sekarang, sambil iseng, cobalah hitung berapa banyak orang Sunda – baik mereka yang baru datang ke dunia maupun yang segera akan meninggalkannya – yang bergerlar Asep. Bukan hanya yakin bahkan haqul yakin, jumlahnya pasti tak alang kepalang. Mungkin ratusan ribu atau paling sedikit puluhan ribu. Kalau kurang percaya coba buka buku telepon yang sebesar bantal itu, disitu akan ditemukan daftar orang bernama(depan) Asep yang berjajar-jajar seperti anak sekolah berbaris dilapangan, sampai mata lamur, belel dan berkunang-kunang.
Ada kemungkinan, di setiap belokan jalan, akan kita jumpai
seseorang bernama Asep. Atau paling sedikit dalam tiap kelipatan sepuluh rumah
akan kita jumpai seorang hamba Tuhan bernama Asep. Kelumrahan nama Asep di
tataran Sunda hampir-hampir menyerupai tanduk pada bangsa rusa, saking banyak,
saking lumrahnya.
Ditilik dari sudut makna, kata Asep sungguhlah elok belaka. Kata
Asep, menurut penelitian para ahli keturunan, berasal dari kata “kasep”
yang mempunyai arti cakep, ganteng – jamil dalam bahasa Arab atau handsome
dalam bahasa Inggris. Perkara banyak orang yang bernama Asep tapi berwajah
rusuh, itu soal lain. Ganteng atau tidak, itu semata-mata soal nasib. Sudah di
luar kekuasaan manusia.
Jika ada orang yang bergelar Asep berwajah kasep, maka
itulah yang disebut para orang tua dahulu sebagai nurubcupu atau matching.
Sebaliknya, jika ada orang yang diberi nama Asep tapi wajahnya malah nyungseb,
maka ia kena pepatah lama: manusia berusaha, Tuhan jua yang menentukan.
Begitulah aturan hidup di dunia, agaknya.
Khusus untuk Fahmi Dzilfikri dari Tasikmalaya, menurut
kesimpulan beberapa temannya, bolehlah diberi gelar “Asep” karena wajahnya
lumayan ganteng. Seorang kawannya ada yang nekad dengan menyebutnya sebagai
mirip bintang film Brad Pitt. Aktor kenamaan asal Oklahoma. Malah, ada juga
kawannya yang lain yang lebih nekad, dengan menyebutnya sebagai mirip dengan
bintang laga Mission Imposible I, II dan III siapalagi kalau
bukan Tom Cruise (walaupun sudah tidak bisa dibilang muda lagi). Bila
dipikir-pikir, wajah Fahmi memang rada-rada sulit dibedakan dengan kedua tokoh
peshor dunia itu. Apa boleh buat. Jadi suka atau tidak suka, terima atau tidak
terima, wajah Fahmi memang lumayan ganteng. Nasib memang kadang suka bikin iri.
Ketika sang ayah, Ali Jaelani (mungkin kakek buyutnya mengambil
dari nama tokoh sufi yang termasyhur, Syekh
Abdul Qadir Jaelani ) memberi nama
Fahmi Dzilfikri, pastilah itu sudah melalui pemikiran panjang
berbulan-bulan. Bahkan, bukan mustahil pula, nama itu muncul melalui semedi
terlebih dahulu. Tidak mungkin nama sekeren itu diberikan begitu saja seperti
membeli dodol di warung. Sang ayah pastilah telah menghitung dengan seksama
–sesuai petunjuk yang ada– baik buruknya memberi nama anaknya Fahmi
Dzilfikri.
Ditilik dari sudut sosiologi agama, nama Fahmi Dzilfikri
adalah contoh penggabungan (idhofat) kata yang sangat sempurna dari apa
yang disebut idhofat musabab ila sabab. Coba saja, dinamai “Fahmi”
tentu, agar si anak memiliki pemahaman yang luas dan menyeluruh, (soal ini,
meski tidak pas benar, kelihatannya tidak begitu melenceng jauh dengan
kenyataan). Dinamai “Dzilfikri”, berasal dari dua kata dzu (yang
merupakan asama khamsah atau asma sittah) artinya memiliki, dan fikri
artinya pemikiran, diharapkan si anak disamping memiliki pemahaman yang
mantap tetapi juga memunculkan pemikiran-pemikiran yang inovatif, atau karena
mempunyai pemikiran maka ia menjadi paham. Inilah doa puncak yang bisa
diberikan seorang bapak, Suatu pilihan nama yang khas, cerdas dan bernas yang
menunjukan betapa tingginya harapan sang ayah kepada si anak. Suatu jenis
harapan parexellence yang berisi doa agar si anak kelak menjadi orang
yang dikategorikan ulul albab.
Jadi, jelas sudah semuanya, Fahmi Dzilfikri adalah sebuah nama
dengan makna doa yang amat tajam, dan harapan yang amat dalam, yang hanya
mungkin keluar dari seorang ayah yang –juga- berkepala tajam dan dalam.
Di Sebalik Pesona Desa
Fahmi adalah anak desa, itu jelas. Bagi banyak manusia, desa selalu
terdengar indah dalam nyanyian, puisim dan dalam lukisan. Karena penulis lagu,
penyair dan pelukis memandang desa dari jauh, dengan jarak psikologis untuk
memilih sudut kenangan yang paling romantis dan eksotis. Mereka menempatkan
desa pada posisi ideal, seperti cara
kita mengenang pahlwan yang tak mungkin lagi berbuat dosa.
Lalu, desa pun identik dengan nyiur melambai, padi menguning,
hamparan teh menghijau, gunung membiru anggun, dan sungai mengalir jauh sampai
ke samudra. Ilmuwan yang melihat desa dari dekat dengan kacamata ilmiah untuk
memotret realitas sosiologis demi apa
yang disebut kebenaran objektif pun tak jarang terpeleset ke dalam romantisme
yang menjauhkan desa dari realitas kesehariannya.
Alam desa tempat kelahiran Fahmi, yakni Tasikmalaya bagian utara,
memang sungguh tak terelakan indahnya. Tetapi, keelokan desa sekali-kali tidak
pernah sanggup untuk menolong kesulitan hidup orang-orang yang tinggal di
dalamnya. Keruwetan hidup kawula desa yang berprofesi menjual es, tukang ojek, tukang
kayu, tukang bangunan juga dosen sekolah dasar seperti Ibunda Fahmi, dimana
ditempatkan?
Pada jaman paceklik itulah, Fahmi mulai tumbuh sebagai anak yang
harus tahan dengan segala macam kesulitan dan keterbatasan. Kala itu, di
mana-mana rakyat Indonesia berhadapan dengan situasi serba kekurangan, bahan
pokok mahal dan jarang didapat. Di tengah himpitan jaman yang mencekik itulah,
sekitar tahun 1998 diera “Kiris Moneter”, akhirnya Fahmi mulai memasuki bangku
Sekolah Dasar (SD). Guru pertamanya, bapak Muhsin yang mengajar di kelas I dan
II SDN IV Argasari, karangmulya, Jamanis, Tasikmalaya.
Tahun 2004, Fahmi menamatkan pendidikan awalnya di SDN IV Argasari.
Ijazah SD ditandatangani oleh Kepala Sekolah Drs. Ali Sodikin dan Guru Kelas
Sugianto.
Hai Pesantren, Aku Datang
Tahun 2004, Fahmi mulai memasuki dunia pesantren. Pesantren yang
dihuninya untuk kali pertama itu adalah Pondok Pesantren Sukahideng. Fahmi
memasuki sekolah di pesantern itu dengan perasaan biasa-biasa saja, jika tidak
bisa disebut agak kecewa. Bukan apa-apa sih, niat awalnya dia ingin
seperti teman-teman yang lain, bisa belajar di SMP Favorit. Tapi apa boleh
buat, dia harus mesantren dengan tanpa perlu meninggalkan pendidikan formalnya.
Fahmi tunduk sepenuhnya atas jalan hidup yang mulai dibentangkan dihadapannya
itu. Akhirnya ia pun mesantren sambil sekolah di sana.
Pesantren ini dipimpin oleh hadrotu syeikh KH. Mohammad Syihabuddin
Muhsin allohummaghfrilah, seorang ulama besar yang sangat dihormati dan
disegani, bahkan mendapat gelar “Macan Tasik”. Visi pesantren ini sudah sangat
jauh ke depan : mencetak kader ulama intelek. Subuah visi yang sungguh
progresif menurut ukuran jamannya. Sebelum seorang santri memutuskan untuk
keluar dari pesantren ini, tidak bisa tidak, ia harus melewati rupa-rupa jenis
ujian, khususnya yang disebut ujian pesantren. Semisal baca kitab kuning/
gundul atau ujian yang bisa diserupakan dengan itu.
Pada masa itu, Pondok Pesantren Sukahideng digawangi sejumlah kiai
dengan dedikasi tinggi. Mereka diantaranya adalah Prof. Dr. KH. T. Fuad Wahab, KH. Ii Abdul Basith, Drs. H. R.
Muhammad Sy, SH., KH. E. Nurudin, KH. Amas Baskara, KH. Toto Musthafa K.F, Drs.
Tatang Mukhtar Wahab.
Maka dengan bismillah, Fahmi memulai pengembaraannya di
pesantren. Pendidikan Sekolah Lanjut Tingkat Pertama tepatnya di Madrasah
Tsanawiyah Negeri (MTs N) Sukamanah itu baru dapat diselesaikan selama 3 tahun.
Dan memang idealnya ditempuh selama tiga tahun.
Pada semester awal belajar di MTs itu, warna raport Fahmi memerah
senja. Jangan salah sangka dulu. Menurut kebiasaan, warna raport yang terbakar
adalah tanda awal yang biasa ditunjukan oleh orang-orang pintar. Dan benar
saja, semester-semester berikutnya, Fahmi tampil merajalela. Ia selalu muncul
sebagai bintang pelajar.
Akhirnya tahun 2007, Fahmi berhasil menyelesaikan pendidikan
MTs-nya. Tanpa menunggu jeda, tahun 2007 ia pun melanjutkan pendidikan ke
Madrasah Aliyah Negeri Sukamanah, masih di pesantren yang sama. Nasib rupanya
telah membawanya untuk tinggal lebih lama di pesantren ini. Di Aliyah pun ia
tek henti-hentinya menunjukan kebolehannya, baik dalam akademisi ataupun dalam
organisasi. Bahkan ia sempat menjabat sebagai Ketua OSIS. Pertengahan 2010 ia
baru lulus, dan mendapatkan ijazah Aliyah dengan nilai yang sangat memuaskan. Dihitung-hitung,
Fahmi tinggal dan belajar di Pondok Pesantren Sukahideng tidak kurang dari 6
tahun.
Nama Saya Dz, Tahu Enggak
Dari 150 orang kawannya (LK) yang masuk pesantren bareng-bareng di
tahun 2004 itu, paling kurang ada 7 temannya yang nama (depan) sama dengan
dirinya: Fahmi. Tambah satu dengan dia, jadi 8. Di samping ada nama Fahmi
Dzilfikri yang menjadi miliknya, ada 7 nama Fahmi lain dengan berbagai tipe dan
ukuran masing-masing layaknya model-model rumah dikomplek rumah hunian. Coba
saja, ada Fahmi Rahmatillah, Fahmi Mujiburahman, Fahmi Fadillah, Fahmi Lukmanul
Hakim, Fahmi Ulumuddin, berikut Fahmi-Fahmi lain dengan model dan variasi
masing-masing.
Jadi begitu ada santri yang berteriak memanggil, “Fahmi..!”
kedelapan orang yang merasa namanya Fahmi ini ngalieuk bersama-sama pada
detik yang sama. Jika panggilan itu datang dari arah sebelah kanan, maka mereka
kompak menoleh ke arah kanan. Kalau panggilan itu datang dari atas pohon
kelapa, mereka kontan mendongak bersama-sama seakan-akan di atas mereka lewat
kapal udara. Adapun bila panggilan Fahmi datang dari tempat yang tidak begitu
jelas, maka kedelapan hamba Tuhan yang bernama Fahmi ini hanya saling
celingukan, saling melotot di antara mereka.
Bagi santri-santri lain yang kebetulan ‘selamat’ tidak memakai nama
Fahmi, pemandangan seperti ini sungguh-sungguh sebuah hiburan yang sangat
mengasyikan, juga menggelikan. Andai saja, situasi wajah bingung yang
ditampilkan oleh ‘Fahmi grup’ ini dilihat anak-anak ABG jaman sekarang, tidak
bisa tidak mereka akan berteriak, “Kasihaan, dehh luuhh..”
Inilah yang kemudian membuat Fahmi keki bukan main. Menurutnya, ini
bukan masalah sederhana. Ini problem sosiologis yang sangat serius. Sekaligus
masalah komunikasi yang tidak ringan. Ini menyangkut soal tanda (sign),
yang akan menjadi penegas bagi masing-masing diri pelaku komunikasi. Lelucon
ini harus segera diakhiri, simpulnya dalam hati.
Maka di suatu senja yang temaram, sambil memilin-milin bajunya
sendiri, Fahmi mulai berpikir: bagaimana caranya ia bisa keluar dari pusaran
lelucon yang sungguh sangat menjengkelkan ini. Mulailah ia membuat skema,
sambil merumuskan sejumlah ‘nama’. Sebagai calon tokoh, ia coba merumuskan
sebuah nama panggilan yang diperkirakan bisa menohok kesadaran orang-orang
secara telak. Ia berpikir : bagaimana caranya menghadirkan sebuah nama yang
sekali nemplok dipikiran orang, tidak akan lepas-lepas lagi sampai orang itu
meninggak dunia. Biar mereka nyahok dan tahu rasa, dan yang penting nama
itu harus bisa mengeluarkan dia dari lingkungan ‘krisis identitas’ yang
berkepanjangan ini.
Akhirnya, setelah meditasi sekian lama di kamar tidur, Fahmi
Dzilfikri sampai juga pada sebuah nama yang ditunggu-tunggu : Dz (dezet). Ya,
Dz. Dz adalah dua huruf yang diambil dari nama belakang Dzilfikri. “Ya,
ini dia yang kutunggu-tunggu.” Katanya sambil mengirim tinju ke langit. Matanya
nanar menatap cakrawala. Ia sungguh puas atas hasil temuannya itu.
Bagai tim sukses calon gubernur, ia pun mulai berpikir bagaimana
caranya mensosialisasikan nama barunya itu ke haribaan kawan-kawannya. “ini
pasti bukan perkara sulit,” katanya memastikan. “ini soal sepele saja,” katanya
lagi dengan senyum sedikit disunggingkan.
Maka dengan caranya sendiri, ia mulai bergerak dengan beringas. Ia
memastikan, bahwa semua hal harus bisa menjadi media sosialisasi nama barunya.
Maka pada setiap buku miliknya, seperti buku catatan, LKS, buku paket
menuliskan nama Dz, dengan huruf D kapital Z kecil. Di tempat duduk, meja. Juga
di dahan pohon. Dan akhrinya, untuk memastikan semuanya berjalan sesuai tujuan,
ia pun segera mengambil sebuah langkah penting: menambahkan dalam tanda
tangannya kata ‘Dz’.
Sempurnalah sudah sesi sosialisasi. Seorang makhluk baru sudah
tercipta. Itu dia: manusia Dz. Sedari itu orang-orang pun mulai melupakan nama
Fahmi Dzilfikri. Mereka hanya mengenal Dz. Celakanya, saking suksesnya
sosialisasi itu, Fahmi sendiri pun nyaris lupa kalau nama dia adalah Fahmi
Dzilfikri.
Nah, satu Fahmi sudah berhasil keluar dari jeratan, bagaimana dengan
nasib ketujuh Fahmi lainnya?
0 comments:
Post a Comment