Bermula dari tulisan status saya, “beragama
itu jangan serius-serius”, tiba tiba muncul orang yang merasa paling “serius”
dalam beragama dan menegur saya. Tulisan ini adalah serpihan-serpihan pendapat
saya yang dikumpulkan dari diskusi dan perdebatan tersebut. Menurut dia,
berhati-hati membicarakan agama, karena ini berkaitan dengan hubungan antara
kamu dan Tuhan. Jika tidak serius dalam beragama, akibatnya shalat dilaksankan
maksiat jalan terus.
Maksud saya beragama jangan terlalu “serius”
bukan berarti main-main. Tak serius berarti “santai” dan “nyaman” dalam
beragama. Saya melihat banyak orang yang merasa paling tahu dan paling benar
dalam memahami dan menafsiri agama, akibatnya arogan dan sok punya otoritas.
Biasanya, orang seperti ini tidak mau melihat dan mengakui “kebenaran” orang
atau pihak lain.
Padahal harus dibedakan antara agama dan
pemikiran keagamaan. Yang dibicarakan dan didiskusikan orang adalah
“pemikiran/pemahaman” orang terhadap agamanya. Orang yang terlalu “serius”
beragama akan menganggap benar sendiri dan orang yang berbeda dengannya
dianggap salah. Akibatnya, ia jadi sok suci dan merasa benar sendiri. Ia lupa
bahwa “kebenaran” yang selama ini ia peluk dan yakini adalah hasil pemahaman
terhadap agamanya, bukan agama itu sendiri.
Padahal, sekali lagi saya katakan, agama
harus dipahami, dihayati, dan diamalkan. Karena itu ia selalu dibicarakan dan
didiskusikan. Dan, sudah sewajarnya setiap orang memiliki keterbatasan dan
kekuarangan. Tak terkecuali saya. Inilah manfaat mendiskusikan agama agar bisa
saling mengisi dan melengkapi.
Saya mencontohkan orang yang terlalu serius
beragama adalah kelompok FPI ataupun JIL. Keduanya memiliki tafsir dan
pemahamannya sendiri terhadap agama, tapi seolah-olah merekalah pemilik satu-satunya
“kebenaran” itu.
Tampaknya, orang yang menegur saya adalah
orang FPI. Dia tersinggung dengan statemen saya yang dianggap gegabah dan
serampangan. Menurut dia, agama harus tegas, termasuk memberenggus
tempat-tempat maksiat. Dia membanggakan prestasi FPI yang berhasil membubarkan
lokalisasi didaerahnya.
Tindakan FPI ini, menurut dia, sudah benar
menurut ajaran agama. Dia menyetir surat al-Hijr ayat 39 yang bunyinya : “Iblis
berkata: "Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat,
pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan ma'siat) di muka
bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya.”
Berdasarkan ayat itu, menurut dia, apakah kita
termasuk ke dalam orang yang telah disesatkan dan memandang baik perbuatan
maksiat dibumi ini? Jika ada orang yang tersesat dijalan Allah, apakah kamu
membiarkan orang tersebut dalam kesesatan? Dan apa yang kamu lakukan jika
tempat prostitusi itu di depan rumah kamu? Apakah kamu akan mencari uang dengan
ikut serta menjual minuman dan ketika FPI datang kamu merasa kesal? Apakah kamu
akan meminta bantuan FPI untuk membubarkan tempat tersebut, lantaran takut
saudara perempuan/laki-lakimu menjadi pelaku ditempat itu atau kamu membiarkan
saudaramu menjadi pelaku didalamnya?
Jawab saya, kalau selama ini FPI mengklaim
telah melakukan “amar ma’ruf nahy munkar”, bagaimana agar FPI memperluas “amar
ma’rufnya” ke dosa-dosa sosial, bukan hanya dosa-dosa individual (seperti
tempat prostitusi itu). Misalnya, ayo kita kumpulkan orang FPI untuk memboikot
dan menyita aset-aset milik koruptor, seperti rumah, mobil, dan barang-barang
lainnya untuk kita serahkan ke orang-orang miskin yang membutuhkan. Juga kita
boikot aset-aset milik misalnya, Abu Rizal Bakry yang telah mengubur dan
membunuh nasib ribuan orang dengan lumpur lapindo. Atau kita rebut Freeport
yang telah merampas kekayaan kita dan membuat sengsara masyarakat disekitarnya.
Juga masih banyak lagi. Mereka telah melakukan dosa besar (dosa sosial) yang
madharatnya jauh lebih besar dan membahayakan.
Setahu saya dalam wacan hukum Islam dikenal
ada dua pembagian : “haqqu Allah” dan “haqqul adami”. Yang pertama berkaitan
dengan dosa-dosa (maksiat) yang hanya berhubungan dengan Tuhan, sedangkan yang
kedua berkaitan dengan dosa-dosa yang hubungannya dengan manusia dan Tuhan. Dosa
dalam kelompok kedua tidak akan mendapat amnesti dari Tuhan kecuali sudah
mendapat ampunan dari manusia yang bersangkutan, misalnya korupsi. Seorang
koruptor tidak akan cukup hanya dengan bertobat dan meminta ampunan kepada
Tuhan, sekali pun tobatnya di tanah suci, kecuali kalau ia sudah mengembalikan
seluruh barang hasil korupsinya dan meminta maaf kepada rakyat. Berbeda,
misalnya, dengan zina ( bukan memperkosa) yang sudah cukup meminta ampunan
kepada Tuhan.
Yang selama ini diurusi dan menjadi perhatian
FPI hanyalah dosa-dosa kecil yang kebanyakan “dinikmati” orang-orang kecil
pula, bukan dosa kelas kakap, seperti korupsi miliaran rupiah atau perusahan-perusahan
multi nasional yang menghisap kekayaan bumi kita. Yang saya kaget dari jawaban
orang FPI itu, bahwa memberantas korupsi bukan wewenangnya, melainkan tugas
jaksa dan polisi (negara).
Di sini lah letak sesat pikir FPI. Korupsi
dianggap urusan negara, sehingga penyelesaiannya harus diserahkan pada negara,
sementara prostitusi bukan. Kalau selama ini FPI berdalih bahwa negara tidak
tegas dalam memberantas lokalisasi ( FPI tidak setuju lokalisasi), bukankah
dalam soal korupsi pun negara lebih tidak tegas lagi? Terbukti banyak koruptor
miliaran rupiah yang lolos atau dihukum ringan. Dalam soal ketegasan
memberantas maksiat FPI sebaiknya jangan tebang pilih dong.
Bukankah korupsi lebih berbahaya (dosa
besar/dosa sosial) ketimbang, misalnya, zina, minum arak, atau menganut aliran
sesat (dosa individual) ?
Yang dilupakan FPI adalah bahwa ini negara
hukum, bukan negara agama. Semua diputuskan berdasarkan ketentuan dan mekanisme
hukum yang berlaku. Sebopeng apapun wajah hukum kita saat ini, kita harus hormati
dan terus kita benahi. Bukan seperti FPI yang membuat hukum sendiri, mengaku
berdasarkan “syariat Islam”, tanpa menghormati hukum yang sudah ada. FPI sama
saja mendirikan negara di dalam negara.
Kalau dalam kontek ini (hukum sebagai
panglima tertinggi) FPI belum sepakat, dan FPI lebih suka menggunakan hukum
sendiri (yang katanya berdasarkan syariat Islam itu), maka yang terjadi adalah
main hakim sendiri. Sehingga yang berlaku adalah “siapa yang kuat dialah yang
berkuasa”. Kita hidup di jagat preman. Bukankah itu yang terjadi sekarang. Misalnya
banyak bermunculan ormas seperti FPI, FBR, PP, kelompok Jhon Key, dll. Semuanya
berebut lahan dan kapling masing-masing. Ada yang menggunakan baju agama, juga
yang menggunakan baju Ormas. Intinya sebetulanya sama : PERUT !!!
Bahkan, kalau mau fair, sebetulnya kelompok
Jhon Key malah lebih jujur dan berani. Mereka ngga membawa-bawa agama. Orang
pada akhirnya banyak yang paham, sekali preman ya preman, sekalipun baju yang
dipakai “islami” (peci haji/surban/gamis. . .
sebetulnya tidak identik dengan Islam, karena Abu Jahal juga pakaiannya
begitu).
Kalau FPI betul-betul mau mengganti sistem
negara kita dengan sistem “islami”, baiknya FPI ikut pemilu atau sekalian
dijadikan partai politik. Buktikan seberapa konsistennya di Pemilu nanti. Kalau
memang banyak pendukungnya, dan bisa menguasai parlemen, rubah semua UU yang
menurut FPI “islami”.
Atau kalau Rizieq Syihab punya nyali,
persenjatai seluruh FPI dan kobarkan revolusi fisik. Berani gak?
0 comments:
Post a Comment