Beragama Jangan Terlalu Serius

Wednesday, February 13, 2013



       Bermula dari tulisan status saya, “beragama itu jangan serius-serius”, tiba tiba muncul orang yang merasa paling “serius” dalam beragama dan menegur saya. Tulisan ini adalah serpihan-serpihan pendapat saya yang dikumpulkan dari diskusi dan perdebatan tersebut. Menurut dia, berhati-hati membicarakan agama, karena ini berkaitan dengan hubungan antara kamu dan Tuhan. Jika tidak serius dalam beragama, akibatnya shalat dilaksankan maksiat jalan terus.
        Maksud saya beragama jangan terlalu “serius” bukan berarti main-main. Tak serius berarti “santai” dan “nyaman” dalam beragama. Saya melihat banyak orang yang merasa paling tahu dan paling benar dalam memahami dan menafsiri agama, akibatnya arogan dan sok punya otoritas. Biasanya, orang seperti ini tidak mau melihat dan mengakui “kebenaran” orang atau pihak lain.

            Padahal harus dibedakan antara agama dan pemikiran keagamaan. Yang dibicarakan dan didiskusikan orang adalah “pemikiran/pemahaman” orang terhadap agamanya. Orang yang terlalu “serius” beragama akan menganggap benar sendiri dan orang yang berbeda dengannya dianggap salah. Akibatnya, ia jadi sok suci dan merasa benar sendiri. Ia lupa bahwa “kebenaran” yang selama ini ia peluk dan yakini adalah hasil pemahaman terhadap agamanya, bukan agama itu sendiri.
            Padahal, sekali lagi saya katakan, agama harus dipahami, dihayati, dan diamalkan. Karena itu ia selalu dibicarakan dan didiskusikan. Dan, sudah sewajarnya setiap orang memiliki keterbatasan dan kekuarangan. Tak terkecuali saya. Inilah manfaat mendiskusikan agama agar bisa saling mengisi dan melengkapi.
             Saya mencontohkan orang yang terlalu serius beragama adalah kelompok FPI ataupun JIL. Keduanya memiliki tafsir dan pemahamannya sendiri terhadap agama, tapi  seolah-olah merekalah pemilik satu-satunya “kebenaran” itu.
        Tampaknya, orang yang menegur saya adalah orang FPI. Dia tersinggung dengan statemen saya yang dianggap gegabah dan serampangan. Menurut dia, agama harus tegas, termasuk memberenggus tempat-tempat maksiat. Dia membanggakan prestasi FPI yang berhasil membubarkan lokalisasi didaerahnya.
           Tindakan FPI ini, menurut dia, sudah benar menurut ajaran agama. Dia menyetir surat al-Hijr ayat 39 yang bunyinya : “Iblis berkata: "Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan ma'siat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya.”
            Berdasarkan ayat itu, menurut dia, apakah kita termasuk ke dalam orang yang telah disesatkan dan memandang baik perbuatan maksiat dibumi ini? Jika ada orang yang tersesat dijalan Allah, apakah kamu membiarkan orang tersebut dalam kesesatan? Dan apa yang kamu lakukan jika tempat prostitusi itu di depan rumah kamu? Apakah kamu akan mencari uang dengan ikut serta menjual minuman dan ketika FPI datang kamu merasa kesal? Apakah kamu akan meminta bantuan FPI untuk membubarkan tempat tersebut, lantaran takut saudara perempuan/laki-lakimu menjadi pelaku ditempat itu atau kamu membiarkan saudaramu menjadi pelaku didalamnya?
         Jawab saya, kalau selama ini FPI mengklaim telah melakukan “amar ma’ruf nahy munkar”, bagaimana agar FPI memperluas “amar ma’rufnya” ke dosa-dosa sosial, bukan hanya dosa-dosa individual (seperti tempat prostitusi itu). Misalnya, ayo kita kumpulkan orang FPI untuk memboikot dan menyita aset-aset milik koruptor, seperti rumah, mobil, dan barang-barang lainnya untuk kita serahkan ke orang-orang miskin yang membutuhkan. Juga kita boikot aset-aset milik misalnya, Abu Rizal Bakry yang telah mengubur dan membunuh nasib ribuan orang dengan lumpur lapindo. Atau kita rebut Freeport yang telah merampas kekayaan kita dan membuat sengsara masyarakat disekitarnya. Juga masih banyak lagi. Mereka telah melakukan dosa besar (dosa sosial) yang madharatnya jauh lebih besar dan membahayakan.
          Setahu saya dalam wacan hukum Islam dikenal ada dua pembagian : “haqqu Allah” dan “haqqul adami”. Yang pertama berkaitan dengan dosa-dosa (maksiat) yang hanya berhubungan dengan Tuhan, sedangkan yang kedua berkaitan dengan dosa-dosa yang hubungannya dengan manusia dan Tuhan. Dosa dalam kelompok kedua tidak akan mendapat amnesti dari Tuhan kecuali sudah mendapat ampunan dari manusia yang bersangkutan, misalnya korupsi. Seorang koruptor tidak akan cukup hanya dengan bertobat dan meminta ampunan kepada Tuhan, sekali pun tobatnya di tanah suci, kecuali kalau ia sudah mengembalikan seluruh barang hasil korupsinya dan meminta maaf kepada rakyat. Berbeda, misalnya, dengan zina ( bukan memperkosa) yang sudah cukup meminta ampunan kepada Tuhan.
           Yang selama ini diurusi dan menjadi perhatian FPI hanyalah dosa-dosa kecil yang kebanyakan “dinikmati” orang-orang kecil pula, bukan dosa kelas kakap, seperti korupsi miliaran rupiah atau perusahan-perusahan multi nasional yang menghisap kekayaan bumi kita. Yang saya kaget dari jawaban orang FPI itu, bahwa memberantas korupsi bukan wewenangnya, melainkan tugas jaksa dan polisi (negara).
       Di sini lah letak sesat pikir FPI. Korupsi dianggap urusan negara, sehingga penyelesaiannya harus diserahkan pada negara, sementara prostitusi bukan. Kalau selama ini FPI berdalih bahwa negara tidak tegas dalam memberantas lokalisasi ( FPI tidak setuju lokalisasi), bukankah dalam soal korupsi pun negara lebih tidak tegas lagi? Terbukti banyak koruptor miliaran rupiah yang lolos atau dihukum ringan. Dalam soal ketegasan memberantas maksiat FPI sebaiknya jangan tebang pilih dong.
             Bukankah korupsi lebih berbahaya (dosa besar/dosa sosial) ketimbang, misalnya, zina, minum arak, atau menganut aliran sesat (dosa individual) ?
        Yang dilupakan FPI adalah bahwa ini negara hukum, bukan negara agama. Semua diputuskan berdasarkan ketentuan dan mekanisme hukum yang berlaku. Sebopeng apapun wajah hukum kita saat ini, kita harus hormati dan terus kita benahi. Bukan seperti FPI yang membuat hukum sendiri, mengaku berdasarkan “syariat Islam”, tanpa menghormati hukum yang sudah ada. FPI sama saja mendirikan negara di dalam negara.
             Kalau dalam kontek ini (hukum sebagai panglima tertinggi) FPI belum sepakat, dan FPI lebih suka menggunakan hukum sendiri (yang katanya berdasarkan syariat Islam itu), maka yang terjadi adalah main hakim sendiri. Sehingga yang berlaku adalah “siapa yang kuat dialah yang berkuasa”. Kita hidup di jagat preman. Bukankah itu yang terjadi sekarang. Misalnya banyak bermunculan ormas seperti FPI, FBR, PP, kelompok Jhon Key, dll. Semuanya berebut lahan dan kapling masing-masing. Ada yang menggunakan baju agama, juga yang menggunakan baju Ormas. Intinya sebetulanya sama : PERUT !!!
          Bahkan, kalau mau fair, sebetulnya kelompok Jhon Key malah lebih jujur dan berani. Mereka ngga membawa-bawa agama. Orang pada akhirnya banyak yang paham, sekali preman ya preman, sekalipun baju yang dipakai “islami” (peci haji/surban/gamis. . .  sebetulnya tidak identik dengan Islam, karena Abu Jahal juga pakaiannya begitu).
           Kalau FPI betul-betul mau mengganti sistem negara kita dengan sistem “islami”, baiknya FPI ikut pemilu atau sekalian dijadikan partai politik. Buktikan seberapa konsistennya di Pemilu nanti. Kalau memang banyak pendukungnya, dan bisa menguasai parlemen, rubah semua UU yang menurut FPI “islami”.
        Atau kalau Rizieq Syihab punya nyali, persenjatai seluruh FPI dan kobarkan revolusi fisik. Berani gak?



0 comments:

Post a Comment

 
 
 
 
Copyright © Simplicity