Ada peristiwa budaya yang paradoks atau meminjam istilah Paricia Abudience dan John Naisbit, paradoxical cultural, yang dilakukan oleh remaja ABG (Anak Baru Gede) perkotaan yakni “ritus” valentine day (selanjutnya disebut VD) atau perayaan hari kasih sayang yang jatuh tiap tanggal 14 Februari. Belakangan, seiring dengan pengaruh perkembangan teknologi, ritus ini pun mulai digandrungi remaja pinggiran kota bahkan mulai digandrungi remaja belasan tahun yang tinggal di pedesaan.
Uniknya, ritus tahunan yang momennya selalu ditunggu-tunggu dan sosoknya diagung-agungkan para ABG ini diyakini sebagai kebudayaan Barat yang tidak perlu dilestarikan. Kesimpulan ini ditarik dari hasil jejak pendapat yang dilakukan penulis bekerja sama dengan Lembaga Telaah Agama dan Masyarakat (eL-TAM) Bandung dan Forum Diskusi Remaja Islam (FDRI) SMK Pasundan Cimahi.
Sebanyak 413 responden menjawab 6 pertanyaan dengan tingkat persentase yang bervariasi dan mencengangkan. Dari 413 responden trsebut, 299 berjenis kelamin perempuan dan 144 laki-laki yang berusia antara 16 – 19 tahun. Umumnya mreka adalah pelajar SMA kelas 1 hingga kelas 3 di Kota Cimahi, namun dilihat dari sisi domisili, umumnya mereka berasal dari daerah seperti Padalarang, Cipatat, Butujajar, Cisarua, sebagian kecil kota Bandung dan kota Cimahi sendiri. Itu artinya responden yang mengisi angket banyak yang berasal dari daerah kampung pedesaan.
Sebanyak 77% responden mengaku senang dan pernah merayakan VD dan 23% menjawab belum atau tidak pernah. Ini mengindikasikan bahwa mayoritas remaja ABG sangat respon dan apresiatif dengan VD dan kurang dari seperempatnya merasa belum atau tidak merayakannya.
Umumnya mereka merayakan VD ini secara rame-rame dengan beberapa teman dan handai tolan. Ini bisa dibuktikan dari suara responden yang cukup signifikan yakni 47,5%. Agak mengejutkan pula, ternyata sekitar 26,4% responden mengaku lebih suka dan lebih asyik merayakan VD bersama gebetan atau kaekasih. Sementara ada 5,5 % responden yang merasa lebih baik merayakannya bersama keluarga saja. Sementara sisanya 20,6% merayakan sendiri-sendiri.
Fenomena keramaian perayaan VD ini makin terasa saat-saat malam menjelang hari “H” hingga malamnya lagi tanggal 14 Februari, dibeberapa titik faforit ABG seprti sepanjang Jl. Ir. H. Juanda (Dago), Jl. Cihampelas, Kawasan Lembang dan Alun-alun Kota Cimahi. Dengan mudah di tempat tersebut kita jumpai aneka kuntum bunga indah dan menawan dijajakkan para pedagang. Para remaja ABG ini membelinya untuk diberikan kepada orang “tertentu” yang special atau kepada sahib dan ia pun akan sama menerima sesuatu dari yang lain. Terkadang berupa coklat, buku diary atau souvenir aneh lainnya yang sudah terbungkus rapi berupa kado.
Kenyataan ini sangat signifikan denga jawaban responden ketika menjawab pertanyaan, “Bagaimana cara merayakan VD?” Sebanyak 24,8% responden menjawab jalan-jalan dan makan-makan ke tempat favorit. Sedangkan sebagian besar responden yaitu 52,9% merayakan dengan cara tukar-menukar kado. Ada yang cukup mengejutkan juga, yakni ada sekira 4,9% yang merayakan sambil ngumpul-ngumpul diskusi dan baca Al-Qur’an. Sedangkan 18,2% mengaku merayakan dengan cara lain.
Khusus yang merayakan bersama kekasih 52,9% mengaku cukup sambil makan-makan dan jalan-jalan saja. Semua itu, ada jumlah jawaban yang mengejutkan yakni 15,1% responden merayakan VD ini dengan cara berciuman. Sementara, ada sedikit yang smbil nonton bioskop 2,7%. Sedangkan yang menjawab lain-lain cukup besar yakni 29,3%. Ketika pertanyaannya dikerucutkan, “Setujukah anda, VD dirayakan dengan kecupan/ciuman?”, maka yang menjawab setuju masih cukup besar dan mencengangkan yaitu 31,0% dan 68,1% menolak atau tidak setuju serta 0,9% mengaku tidak tahu.
Ironisnya ketika ditanyakan “Setujukah anda VD menjadi budaya bangsa yang perlu dilestarikan?” Sebanyak 36,2% responden menjawab setuju dan 63,8% tidak setuju. Jawaban pertanyaan terakhir ini memang mengandung ironisme tersendiri, utamanya bila dilihat dari perspektif logika berbalik dengan pertanyaan pertama. Sekali lagi, 77% mengaku pernah dan senang merayakan VD. Tetapi, dengan jumlah yang signifikan pula yakni 63,8% dari mereka sendiri ternyata menolak menjadi tradisi atau budaya yang harus dilestarikan. Sedangkan jawaban setuju dari 36,2% juga sebuah keironisan tersendiri meski tidak dilihat dari perspektif logika terbalik.
Di sini terdapat angka yang signifikan antara mereka yang menjawab setuju pada soal No. 6 (36,2%) dengan yang menjaab setuju pada soal No. 5 yakni 31% serta jawaban No. 2 yaitu 26,4%. Dilihat dari sisi kesinambungan kasus, persentase itu cukup korelatif dan tidak njomplang. Artinya, ini menunjukkan bahwa ternyata animo remaja terhadap budaya yang serba permisif masih cukup besar. Pertanyaannya, apakah memang VD mewarisi dan mengajari budaya yang demikian (serba permisif/serba boleh)? Adakah cara yang lebih “santun” dalam merayakan VD? Untuk memperoleh informasi dan gambaran latar belakang VD berikut penulis ketengahkan secuil sejarah VD.
Sejarah “Valentine”
Dari beberapa referensi yang penulis kaji dapat diringkaskan bahwa hari valentine itu berasal dari suatu festival bangsa Roma (Italia) kuno, dahulu disebut Lupercalis. Mulanya perayaan ini diadakan pada 15 Februari untuk memuja Dewa Lupercus (Dewa pelindung tanaman obat dan kesuburan tanaman obat dan hasil bumi). Dalam pesta tersebut, mereka memohon kesehatan dan kesuburan tanaman dan ternak-ternak mereka. Selama perayaan, kaum perempuan Roma bakal menempatkan nama-nama mereka ke dalam kendi besar. Lalu kaum lelaki menarik undian nama-nama perempuan yang akan menjadi pasangan mereka, serta menempelkan nama perempuan tersebut di lengan baju mereka. Pasangan-pasangan tersebut akan saling bertukar hadiah. Kaum perempuan akan menerima sarung tangan harum atau kado tertentu. Ingat, hanya sebatas itu! Tidak ada tradisi pacar-pacaran apalagi sampai cium-ciuman, pergaulan bebas, dansa, begadang semalam suntuk dan tetek bengek lainnya.
Setelah bangsa Roma menjadi Kristen, para rohaniawan menggeser 1 hari ke belakang dan menggunakan tanggal 14 februari sebagai hari kasih sayang. Mengapa digeser ke tanggal 14 dan mengapa pula namanya menjadi valentine bukan Lupercalis? Begini, para Rohaniawan Kristen memakai tanggal 14 dan menamai valentine karena pada tanggal ini ada dua orang yang kebetulan namanya sama yakni Valentino dan keduanya pun sama-sama dihukum mati oleh Kaisar Claudius II pada tanggal 14 Februari tahun 207M.
Menurut Kaisar, bala tentaranya akan makin besar dan kuat jika orang-orang tidak menikah, sehingga keluarlah aturan bagi kaum lelaki yang menjadi tentara untuk tidak menikah dan tidak tinggal bersama keluarga. Valentino melanggar aturan itu dan menikahi perempuan pilihannya. Valentino kedua adalah seorang bishop dari daerah Temi. Sebagai seorang bishop, ia dilarang menikah. Tapi larangan sang Kaisar ini ia lawan. Maka ia pun dihukum mati bersama Valentino yang pertama tadi. Dua martir (syuhada) ini lalu diberi gelar Santo oleh masyarakat yang anti Kaisar karena pengorbanannya dan disebut sebagai Santo pelindung bagi pasangan yang sedang jatuh cinta.
Itu sekilas asal muasal kenapa orang-orang sedunia merayakan “Hari Kasih Sayang” atau yang lebih terkenal dengan VD ini. Karena dua Valentino di atas adalah dua pejuang yang bermartabat, maka logikanya cara-cara yang bermartabat (santun) pulalah yang mesti kita tiru.
Seperti, 1 (Valintine) tidak harus dirayakan sama pacar. Selain pacar tentu masih ada orang-orang terdekat yang kita sayang. Misalnya, ortu yang selama ini sudah dengan tulus menyayangi kita atau teman-teman dekat yang selalu bikin senang suasana terutama disaat kita lagi bête abis. Nah, dihari valentine ini mereka bisa jadi orang yang special. Tunjukkan kalau kita juga sayang sama mereka.
(2) Hadiah special tidak harus buat pacar. Coklat yang menggiurkan, bantal-bantal hati lucu, pernak-pernik hati warna merah pasti akan jadi hadiah special di hari kasih sayang. Tapi, yang special itu bukan hanya untuk pacar kan? Hadiah-hadiah itu tidak ada salahnya kita kasih ke kakak, adik, sahib, atau bisa teman lama yang bertinggal jauh dari kita (pasti akan jadi surprise banget buat dia).
(3) Mengungkapkan rasa sayang dapat kapan saja. Ungkapan rasa sayang pada seseorang tidak harus diungkapkan saat valentine saja. Kita bisa bilang, “I love you” untuk orang tua kita setiap pagi ketika sarapan atau kasih greeting card untuk sahib saat dia lagi di luar kota juga bisa.
(4) Variasi perayaan hari valentine. Kumpulkan teman-teman sekelas dirumah untuk merayakan valentine. Acaranya bisa silaturrahmi enteng-entengan. Ngariung sebentar, lalu bareng-bareng baca “qulhu” atau kultum (kuliah tujuh menit) yang diisi sama guru agamanya.
Walhasil, VD memang benar-benar bukan budaya yang digali dari warisan leluhur kita, ia adalah budaya Barat. Banyak di antara kita (sebagaimana tergambar dari jajak pendapat) telah latah dan salah kaprah mengepresikan tradisi tersebut. Ironisnya, 63,8% responden menyatakan tidak setuju jika VD harus dilestarikan.
Akhirnya, ditengah era global paradox ini (lagi-lagi meminjam istilah Patricia Abudaience dan John Naisbit) kita tidak mungkin bersembunyi dari gempuran-gempuran budaya orang lain. Di era ini kita sudah bisa mengakses informasi apa saja melalui media. Bukankah pesawat TV saja sudah berceceran hingga kamar tidur? Bukankah pula dari toilet kita bisa tetap mengakses informasi dan komunikasi dengan dunia luar toilet melalui fasilitas handphone? Kesemuanya merupakan sarana penyampai informasi yang efektif dan berpotensi melahirkan budaya baru bagi para penggunanya (sesuai dengan informasi yang diterimanya). Hanya orang yang taat menjalankan agamanya yang akan melahirkan budaya yang agamis. Wallahu a’lam. ***
Tulisan dimuat di Harian Pikiran Rakyat, Sabtu, 12 Februari 2005
0 comments:
Post a Comment